Daftar Isi:
Jawaban Menganalisa Kaidah Kebahasaan Cerpen “Matahari Tak Terbit Pagi Ini” – cerita pendek merupakan salah satu bentuk sastra yang memiliki daya tarik tersendiri. Dalam sebuah cerpen, kekuatan cerita tidak hanya terletak pada alur dan karakter, tetapi juga pada penggunaan bahasa yang digunakan oleh penulis. Kaidah kebahasaan dalam cerpen menjadi salah satu elemen penting yang perlu diperhatikan dalam proses penulisan.
Dalam artikel ini akan disajikan informasi tentang kaidah kebahasaan cerpen “Matahari Tak Terbit Pagi Ini”. Materi ini terdapat pada buku Bahasa Indonesia SMA/MA/SMK/MAK KELAS XI Kurikulum Merdeka. Berikut adalah pembahasan soal selengkapnya, simak yuk !
Jawaban Menganalisa Kaidah Kebahasaan Cerpen “Matahari Tak Terbit Pagi Ini” Halaman 128
3. Bersama 2–4 orang teman, cermatilah cerpen di bawah ini. Diskusikanlah kaidah kaidah kebahasaan yang menandai cerpen tersebut terkait dengan ciri-cirinya yang telah dibahas!
a. Apakah semua kaidah itu tampak pada cerpen tersebut?
b. Adakah ciri kebahasaan lainnya yang dominan di dalamnya?
Format Analisis Kaidah Kebahasaan
Baca Juga : Jawaban Soal tentang Struktur Cerpen “Robohnya Surau Kami”
Cerpen
Matahari Tak Terbit Pagi Ini
Karya: Fakhrunnas MA Jabbar
Pernahkah kau merasakan sesuatu yang biasa hadir mengisi hari-harimu,
tiba-tiba lenyap begitu saja. Hari-harimu pasti berubah jadi pucat
pasi tanpa gairah. Saat kau hendak mengembalikan sesuatu yang hilang itu
dengan sekuat daya, namun tak kunjung tergapai. Kau pasti jadi kecewa
seraya menengadahkan tangan penuh harap lewat kalimat doa yang tak
putus-putusnya.
Bukankah kau jadi kehilangan kehangatan karena tak ada helai-helai
sinar ultraviolet yang membuat senyumnya begitu ranum selama ini.
Matahari bagimu tentu tak sekadar benda langit yang memburaikan
kemilau cahaya, tetapi sudah menjadi sebuah peristiwa yang menyatu
dengan ragamu. Bayangkanlah bila matahari tak terbit lagi. Tidak hanya
kau tapi jutaan orang kebingungan dan menebar tanya sambil merangkak
hati-hati mencari liang langit, tempat matahari menyembul secara perkasa
dan penuh cahaya.
Kaulah matahari itu, bidadariku. Berhari-hari kau merekat kasih hingga
tak terkoyak oleh waktu, tiba-tiba kita harus berpencar di bawah langit
menuju sudut-sudut yang kosong. Kekosongan itu kita bawa melewati
jejalan kesedihan. Kita harus terpisah jauh menjalani kodrat diri yang
termaktub di singgasana luhl mahfudz. Semula kita begitu dekat. Lantas
terpisah jauh oleh lempengan waktu.
Kita mengisi halaman-halaman kosong kehidupan kita dengan denyut
nadi. Sesudahnya, kita bertemu bagai angin mengecup pucuk-pucuk daun
dan berlalu begitu mudah. Dan kita pun bertemu lagi dengan perasaan
yang asing hingga kita begitu sulit memahami siapa diri kita sebenarnya.
Di ruang kosong yang semula dipenuhi pernik cahaya matahari, kita
bertatap muka penuh gairah. Di penjuru ruang kosong itu bergantungan
bola-bola rindu penuh warna dan aroma. Bola-bola itu bergesekan satu
dengan lain mengalirkan irama-irama lembut Beethoven atau Papavarotti.
Irama itu menyayat-nyayat hati kita hingga mengukir potongan sejarah
baru. Bagaikan sepasang angsa putih yang menari-nari di bawah
gemerlapan cahaya langit, sejarah itu terus ditulisi berkepanjangan. Lewat
ratusan kitab, laksa aksara. Namun, setiap perjalanan pasti ada ujungnya.
Setiap pelayaran ada pelabuhan singgahnya. Setiap cuaca benderang
niscaya ditingkahi temaram bahkan kegelapan.
Baca Juga : Jawaban Menelaah Teks Cerita Pendek Berdasarkan Struktur dan Kaidah
Andai sejarah boleh terus diperpanjang membawa mitos dan legendanya,
maka dirimu boleh jadi termaktub pada pohon ranji sejarah itu. Boleh
jadi, kau akan tampil sebagai permaisuri ataupun Tuanku Putri yang
molek. Mungkin, berada di bawah bayang-bayang Engku Putri Hamidah,
Puan Bulang Cahaya atau pun siapa saja yang pernah mengusung regalia
kerajaan yang membesarkan marwah perempuan.
Aku tiba-tiba jadi kehilangan sesuatu yang begitu akrab di antara kutub-kutub
kosong itu. Kusebut saja, kutub rindu. Aku tak mungkin menuangkan
tumpukan warna di kanvas yang penuh garis dan kata ibarat sebab lukisan
agung ini tak kunjung selesai. Masih diperlukan banyak sentuhan kuas dan
cairan cat warna-warni hingga lukisan ini mendekati sempurna. Kita telah
menggoreskan kain kanvas kosong itu sejak mula hingga waktu jeda yang
tanpa batas.
Masih ingatkah kau bagaimana langit-langit kamar itu penuh getar
dan kabar. Tiap pintu dan tingkap dipenuhi ikrar kita. Dan bola lampu
temaram memburaikan janji-janji. Sebuah percintaan agung sedang
dipentaskan di bawah arahan sutradara semesta. Kau membilang percik
air yang berjatuhan di danau kecil di sudut pekarangan jiwa dalam kecup
dan harum mawar.
Bahkan, tubuh kita terguyuri embun yang terbang menembus kisi-kisi
tingkap hingga tubuh kita jadi dingin. Malam-malam penuh mimpi dan
keceriaan bagaikan sepasang angsa yang mengibas-ngibaskan bulu-bulu
beningnya. Kau redupkan cahaya lampu di tiap penjuru hingga sejarah
dapat dituliskan secara khidmat dan penuh makna. Kau menatap langitlangit
kamar sambil membisikkan untaian puisi yang kau tulis dengan
desah napasmu. Kita merecup semua getar irama percintaan itu tiada batas.
Malam itu siapa pun tak butuh matahari. Sebab, ada bulan yang bersaksi.
Kita hanya butuh setitik cahaya guna penentu arah belaka. Selebihnya sunyi
menyebat kita dan tiupan angin yang melompat lewat kisi-kisi jendela
yang agak terdedah. Dengan apakah kulukiskan pertemuan kita, Kekasih?
Chairil sempat bertanya seketika.
Baca Juga : Jawaban Unsur-Unsur Intrinsik pada Cerpen ”Robohnya Surau Kami”
Ah, tak cukup kata memberi makna, katamu. Dan isyarat sepasang
angsa yang saling menggosokkan paruh-paruhnya. Bagaikan peladang kita
pun sudah pula bertanam dan menebar benih. Kelak, katamu, akan ada
buah yang bakal dipetik sebagai kebulatan hati yang begitu mudah terjadi
tanpa paksa dan janji.
Dan kita pun terus saja bertanam agar daun-daun yang bertumbuh kelak
dapat menangkap fotosintesa matahari. Di tiap helai daun itu bermunculan
nama kita sebagai sebuah keabadian. Andai matahari tak terbit lagi saat
pagi merona, kita masih menyimpan sedikit cahaya di helai-helai daun
yang berguncang dihembus angin sepanjang hari.
Sungguh, matahari tak terbit pagi ini. Bagai aku kehilangan dirimu yang
berhari-hari menangkap cahaya hingga memekarkan kelopak bunga di
jiwa. Percintaan ini penuh wangi dan warna. Penuh hijau daun dan kupukupu
yang menyemai spora di mahkota bunga.
Begitulah saat kau berada jauh kembali ke garis hidupmu, aku begitu
ternganga sebab cahaya tak ada. Memang, tak pernah matahari tak terbit
memeluk bumi. Tapi, bagi kita, kala berada jauh, keadaan begitu gelap
dan sunyi tiba-tiba. Kita merasa begitu kehilangan. Kita merasa ada yang
terenggut tanpa sengaja. Serasa ada yang tercerabut dari akar yang semula
menghunjam jauh di tanah.
Baca Juga : Jawaban Soal tentang Keberadaan Latar pada Cuplikan Cerita Pendek
Kita bagaikan orang tak punya pilihan saat berada di persimpangan
tak bertanda. Syukurlah, kita tak pernah kehilangan arah tempat bertuju
di perjalanan berikutnya. Hidup ini penuh gurindam dan bidal Melayu
yang memagari ruang dan langkah kita menuju titik terjauh yang harus
dilompati. Kata-kata yang berdesakan di bait puisi dan lirik lagu menebar
wangi hari-hari.
takkan kutemui wanita seperti dirimu
takkan kudapatkan rasa cinta ini
kubayangkan bila engkau datang
kupeluk bahagia kan daku
kuserahkan seluruh hidupku
menjadi penjaga hatiku
Suara Ari Lasso lewat “Penjaga Hati” itu mengalir pelan-pelan dari
tembok-tembok kegelapan yang mengepungku. Benar kata emak dulu, kita
akan tahu akan makna sesuatu ketika ia telah berlalu. Apalagi berada jauh
yang tak tersentuh.
Matahari tak terbit pagi ini. Begitulah kita merasakan saat diri kita berada
di kutub yang berjauhan. Diperlukan garis waktu untuk mempertemukan
kedua tebing kutub itu. Atau, kita harus kuat merenangi laut salju yang
kental atau menyelam di bawah bongkahan es yang dingin menyengat
tubuh. Begitu diperlukan segala daya untuk menemukan sesuatu yang
lenyap begitu cepat saat diri memerlukan setitik cahaya.
Apa perasaanmu kini? Kau telan kesendirian itu di kejauhan sambil
berharap matahari akan bercahaya segera menerangi kisi-kisi hati yang
tersaput luka rindu kita. Andai kita bisa menolak gumpal awan dan
menyeruakkan matahari kembali, begitulah takdir yang hendak kita
bentangkan di kitab sejarah sepanjang masa. Tapi, kita akan cepat lelah.
Menyeruakkan awan untuk menyembulkan garang matahari bukanlah
hal yang mudah. Kita butuh sejuta tangan dan cakar untuk menaklukkan
segenap awan dan matahari itu.
Baca Juga : Jawaban Soal tentang Penokohan dalam Cerita Pendek
Kau ingat kan, kisah Qays dan Laila atau Romeo dan Juliet yang
memburaikan banyak kenangan bagi jutaan orang. Kau pun ada dalam
bagian kisah yang tak pernah lekang di panas dan lapuk di hujan itu. Selalu
ada manik-manik kasih mengalir di samudra kehidupan yang mahaluas
ini. Meski kadangkala suaramu tersekat melempar tanya kala anugerah
kasih ini terbit di ujung usia. Tak bolehkah kita mereguk kebahagiaan di
sisa waktu yang masih tersedia meski semua jalan yang terbuka di depan
bagai tak berujung jua. ”Aku takut bila aku berubah. Tapi tak akan pernah,
pangeranku,” ucapmu pelan.
Garis panjang waktu itu mendedahkan kemungkinan-kemungkinan
yang sulit diraba. Banyak ancaman yang siap mengepung kita hingga
merobek tabir setia. Ya, kesetiaan tak kasat-mata. Hanya ada di bilik hati.
Ingin aku menjenguk bilik hatimu setiap saat, tapi tak bisa. Pintu hati itu
tak setiap waktu bisa terbuka.
Andai kau bangun esok pagi, nankan selalu matahari akan terbit seperti
janji yang diucapkannya pada semesta. Di helai cahaya matahari itu selalu
ada kehangatan yang meresap di keping-keping jiwamu.
Jawaban :
a. Ya, semua kaidah itu tampak pada cerpen tersebut.
b. Ciri kebahasaan lainnya yang dominan di dalamnya adalah penggunaan kata sifat untuk menggambarkan suasana pada cerpen tersebut.
Baca Juga : Jawaban Soal tentang Unsur-unsur Cerita Pendek
Kaidah kebahasaan | Kutipan dalam cerita |
a. Kata ganti orang pertama/ ketiga | Aku tiba-tiba jadi kehilangan sesuatu yang begitu akrab di antara kutub-kutub kosong itu. Kusebut saja, kutub rindu. |
b. Kalimat bermakna lampau | Kita telah menggoreskan kain kanvas kosong itu sejak mula hingga waktu jeda yang tanpa batas. |
c. Konjungsi kronologis | Semula kita begitu dekat. Lantas terpisah jauh oleh lempengan waktu. |
d. Kata kerja yang menggambarkan peristiwa | Saat kau hendak mengembalikan sesuatu yang hilang itu dengan sekuat daya, namun tak kunjung tergapai. |
e. Kata kerja yang menunjukkan kalimat tak langsung | Chairil sempat bertanya seketika. |
f. Menggunakan kata kerja yang menyatakan pikiran/ perasaan | Pernahkah kau merasakan sesuatu yang biasa hadir mengisi hari-harimu, tiba-tiba lenyap begitu saja. |
g. Menggunakan dialog | ”Aku takut bila aku berubah. Tapi tak akan pernah, pangeranku,” ucapmu pelan. |
h. Ciri kebahasaan lainnya : Penggunakan kata sifat | Kaulah matahari itu, bidadariku. |
Baca Juga : Jawaban Mempresentasikan Sebuah Teks Cerita Pendek dengan Nilai Kehidupan
Kesimpulan
Itulah pembahasan soal yang dapat disajikan tentang jawaban menganalisa kaidah kebahasaan cerpen “Matahari Tak Terbit Pagi Ini” yang terdapat pada buku Bahasa Indonesia SMA/MA/SMK/MAK KELAS XI Kurikulum Merdeka. Semoga dengan penyajian jawaban ini dapat bermanfaat dan membantu kalian dalam belajar. Selamat belajar !
Disclaimer : Pembahasan mengenai jawaban di atas merupakan panduan yang dapat digunakan dalam belajar, bukan jawaban yang mutlak akan tetapi bersifat terbuka dan masih dapat dikembangkan.